Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
 pena biru2

Cerpen Slice of Life - Lavendel, Aku, dan Uang

Gelas gemerincing dalam tarian kaca. Sesekali berpapasan dengan piring dan mangkuk raksasa. Sendok tak turut. Benda itu sudah duduk manis bersama garpu di lubang temaram. Seorang wanita melenggang di jalan sempit. Dia menurunkan kopi hitam dan kue lapis. Selain itu, ada senyum madu yang ia urai untuk orang-orang di sekitarnya.



“Ndri, tidak pesan kopi?” tanya Tatang usai membelai punggung tangan si gadis kopi.

“Nanti dulu, Tang. Mau ambil topi di truk. Kelupaan.”

“Halah! Topi saja dipikirkan. Nanti-nanti juga bisa,” gerutu Tatang.

“Ah, bukan begitu. Biar kuambil sekarang.”

Landri buru-buru menjauh dari MERONA. Sebuah warung singgah yang dibangun persis di pinggir kota. Bukan apa-apa, diyakini warung tersebut menyimpan puluhan mutiara. Siapa yang tak suka. Sopir truk banyak yang mampir, bukan hanya makan dan menyesap kopi. Namun, melepas lelah dan ciuman pula.

Jarak tempat makan dan parkir truk cukup menyiksa sandal. Alas kaki milik Landri yang peyot sudah meronta minta diganti. Bukan masalah bikin dia terpeleset dan celaka, tapi si pemilik lebih sayang istri. Beli beras, minyak, gula, dan ayam. Itu-itu saja yang dipikirkan. Sandal? Tidak masuk dalam daftar pembelian.

“Gimana? Topimu tidak dimaling orang, kan?”

“Mana mau, Tang. Seperti tidak ada yang lain saja.”

“Lha, terus kenapa kamu sampai nyusul topimu di truk tadi?”

“Ingin saja. Kurang enak kalau tidak pakai topi.”

“Ckckck… topi murah saja disayang-sayang, Ndri… Ndri...”

Landri tak membalas. Meskipun darah mulai naik ke ubun-ubun, dia sudah kebal dengan omongan sahabatnya satu itu. Tatang sibuk memutar-mutar gelas buram. Dilihat lebih dalam, kopi dan gula tidak tercampur sempurna. Gula banyak yang mengendap di bawah, tapi lelaki itu tak menolak asal Antin yang buat.

Antin, satu diantara banyak mutiara yang terkungkung dalam MERONA. Wanita itu betah menemani Tatang selama lelaki itu menyisipkan uang. Jika dompet sedang sekarat, wanita itu akan beringsut pada Bayu atau Mamad, sopir truk kayu yang uangnya tak pernah tandas.

“Landri, apa kamu juga merasa setoran dari Haji Muklis semakin sedikit?”

“Iya. Padahal bahan pangan mulai naik. Tapi pendapatanku bulan ini malah turun, Tang. Ditambah istriku minta minyak lavender lagi. Katanya di rumah sudah habis.”

“Buat apa istrimu minta minyak lavender terus? Setiap aku mampir ke warungmu, cuma bau soto ayam dan sambal pecel saja yang tercium.”

“Siapa juga yang mau menaruh wewangian di warung sederhana, Tang. Ratih itu pintar, dia memakainya di dalam kamar. Jadi cukup dia dan aku saja yang membauinya. Sesekali Laras juga masuk kamar. Anak semata wayangku itu juga menyukainya.”

“Ck… tahu dari mana kalau cuma Ratih dan Laras yang masuk kamar? Bisa saja Ratih mengundang orang lain saat kamu tidak di rumah.”

Landri menatap tajam. Bagai serigala yang digerogoti insting membunuh. Dia siap menyalak Tatang. Tapi semua runtuh saat pikiran jernihnya kembali. Terakhir berseteru dengan Tatang, dia mengalami masa yang cukup sulit. Meskipun penampilan Landri dan Tatang semacam sebelas dua belas, tapi Tatang adalah senior di bidangnya. Landri tidak ingin terjungkal untuk kedua kalinya. Dia menghela napas dan mencari jawaban seadanya.

“Ratih itu bukan Endang, Tang. Jangan disamakan.”

Tatang tersenyum kecut. Istri lelaki itu memang sudah terkenal jeleknya. Saat sang suami bekerja, dia malah menuntun lelaki lain untuk tinggal bersama. Tidak ada yang patut dibanggakan. Anak Tatang pun sedih ber-ibu-kan seorang Endang. Ditambah Tatang yang jarang di rumah, entah bagaimana keadaan si anak.

“Ndri, dua hari lalu aku mampir ke toko untuk beli titipan Haji Romlah. Si Dendi bilang harga minyak bunga naik. Jika begini, kamu masih mau membelikan keinginan istrimu itu?”

“Mau tidak mau, Tang. Istriku dari dulu tidak minat minta yang aneh-aneh. Ya satu itu, dia meminta minyak lavender setiap dua bulan. Sudah bagus dia tidak minta alat racik baru padaku. Dia tetap pakai lilin lamanya.”

“Harusnya istrimu itu banyak uang, Ndri. Dia jualan makanan tiap hari. Aku saja makan di tempatmu kalau tidak kerja begini. Uang hasil jualan itu dikemanakan?” tanya Tatang disusul suapan kue lapis ke mulut.

“Ditabung, Tang. Buat biaya sekolah Laras. Selama ini anakku itu tidak minta apapun padaku. Dia selalu minta ibunya. Beli tas, sepatu, buku, iuran kelas, semuanya.”

“Lalu, si ibu giliran minta padamu begitu? Ndri… Ndri… Kamu itu terlalu baik. Kamu harus sadar pekerjaanmu itu apa. Jangan cuma pikir rumah tanggamu.  Sudah dua tahun tapi tidak paham juga.  Coba lihat kanan-kiri.”

Landri tak patuh. Dia malah membenahi topinya yang sedikit miring. Lagi-lagi Tatang tersenyum. Bukan merasa terhina, tapi merasa perlu berusaha agar Landri ikut arusnya.

“Siang ini, dari sepuluh sopir truk yang singgah di MERONA cuma kamu sama Pak Ketut yang malas nggoda wanita. Lainnya, pasti sudah cengengesan dan manja-manjaan. Nah, kamu jangan terlalu sayang sama istri. Toh, dia tidak bersamamu tiap hari.”

Siapa bilang Landri terlalu sayang istri? Lelaki itu sering hanyut dalam jebakan Rukma. Tapi tak sampai mengecup kening wanita itu, Landri telah membuka topinya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua wanita mendekat dengan nampan berisi kopi dan makanan. Harum gulai kepala ikan dan nasi hangat membumbung mesra. Landri berkali-kali menarik napas untuk menjerat aroma. Di sisi lain, Tatang tak peduli. Lelaki itu menilik hal tersendiri. Antin, wanita pujaan hati itu mulai mengibaskan rambutnya untuk tebar pesona.

“Ini makanannya, Bang Tatang.”

Tatang mengangguk cepat. Lelaki itu segera menarik tangan Antin untuk mendekat padanya.

“Ini kopimu, Mas Landri.”

Landri mengangguk tanpa menatap si pelayan.

“Ndri, lihat, si Rukma makin cantik sekarang. Kamu yakin tidak mau dengannya?”

Kali ini Landri benar-benar tertarik. Bukan masalah goda-menggoda. Tapi lebih dari itu. Wanita itu mulai memiliki kemiripan yang sangat dengan Ratih. Bukan rona wajah, apalagi tingkah.

“Kenapa akhir-akhir ini kamu bau lavender, Rukma?”

Si tertuduh tertawa manja. Semu merah jambu di pipinya kian nyata. Setelah meletakkan pesanan dengan benar, wanita itu bersandar mesra pada Landri. Landri diam, tidak menolak, tidak menerima. Rukma memainkan sejumput kemeja kusut milik Landri. Sesekali wanita itu menerawang wajah sang kekasih.

“Tatang bilang kamu suka bau bunga ungu. Jadi aku membelinya agar bisa lebih dekat denganmu. Tidak perlu membayarku hari ini. Tapi coba perhatikan aku. Setelah dirasa cocok, baru keluarkan uangmu untukku esok hari.”

Landri gugup. Wanita di sisinya semakin menempel. Tatang turut mendukung. Antin tertawa-tawa melihat Landri yang dilema. Setiap minggu Landri mampir dan Rukma yang selalu menyuguh kopi. Sudah dua tahun dan dia masih betah menggoda. Landri kadang juga berpikir alangkah baiknya jika dia memiliki Rukma.

Rukma itu menawan. Cukup menakjubkan wanita itu mengejar-ngejar Landri yang pas-pasan. Masih banyak sopir truk yang berdompet tebal, tapi malah dia acuhkan. Jika pun Landri terpikat, uang sebesar apa yang ia dapat? Paling besar pasti lima puluh ribu. Coba sopir lain, pasti dua ratus ribu bisa dia kantongi dengan mudah.

“Ndri! Ngelamun saja kamu! Itu loh ditawari Rukma. Gratis!” Tatang mencoba kompor dengan tawa yang makin girang.

“Bagaimana, Mas Landri? Aku sudah memakai wewangian kesukaanmu. Kurang apa lagi?”

Landri acuh tak acuh. Rukma yang mengamati semakin bersikeras memikat. Wanita itu tersenyum-senyum. Ditambah dia memijati pundak lelaki itu perlahan. Mirip sekali dengan pijatan Ratih pada Landri sepulang kerja. Lelaki itu benar-benar dalam bahaya sekarang.

“Hahhh!”teriak Landri tiba-tiba. Antin, Rukma, dan Tatang berjingkat. Mereka terkejut dengan reaksi Lantri yang tak terduga.

“Kamu itu ngomong apa, Rukma! Menawariku? Buat apa! Di rumah saja aku punya bau semacam ini. Lima tahun aku menciuminya. Apa di sini aku harus menerimamu juga? Lagi pula bau di rumah masih lebih bagus daripada kamu. Dasar!” gerutu Landri keras.

Rukma disingkirkan dengan kasar. Landri membawa kopinya menjauh dari meja Tatang. Lelaki itu menarik sebatang rokok dari sakunya. Dia main-mainkan lalu dibuang. Sudah kena tanah, tapi dipungut lagi. Dimasukkan saku dan tangan berganti ke topi. Diraih selembar kertas warna kecokelatan. Diciumnya dengan sayang.

“Ada untungnya aku menetesi kertas kelobot ini, Ratih. Semoga harummu tetap mengiringi rezekiku. Hah, ada apa dengan si Rukma? Aku sungguh kesal dibuatnya.”

Topi dibuka lagi. Kertas kecokelatan tadi kembali bersarang di sela-sela penutup kepala. Dipandanginya topi tersayang. Warna biru tua itu telah luntur, ditambah ada robek di bagian ubun-ubun.

Landri menghela napas. Dia menyesap kopinya perlahan-lahan dan merasa lebih tenang. Tak berapa lama, dilihatnya sebuah truk bermuatan pakan ikan mendekat. Turunlah seorang lelaki paruh baya yang masih mencuatkan sifat beringas. Selayak permen tanpa bungkus, lelaki itu langsung disambut beberapa penggemar.

Lelaki itu tertawa nyaring. Kecupan mesranya ditempel pada satu-satu wanita. Siapa sangka, lelaki paruh baya itu adalah kakak sulung Ratih. Sama saja dengan lainnya. 

Saat melintas di depan Landri, lelaki itu semakin merekahkan tawanya. Dia, bahagia.

 

SELESAI


30 komentar untuk "Cerpen Slice of Life - Lavendel, Aku, dan Uang"

  1. Lanjutkan, cerpennya menarik
    Semoga skill menulis ceritanya lebih baik lagi kedepannya aamiin

    BalasHapus
  2. Kayaknya ceritanya masih gantung nih.. hehe
    Lanjutkan mba, ditunggu😊

    BalasHapus
  3. mantap cerpen nya, bisa untuk refensi membacaku agar aku lebih luas wawasanku

    BalasHapus
  4. Ceritanya keren min, kira-kira dah berapa cerpen yang sudah dibuat ?

    BalasHapus
  5. Bagus bagus cerpennya di sini. Udah sering ikut lomba" gitu kah min? Ini ada versi wattpadnya juga ga ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernah beberapa kali kali ikut lomba kak. Untuk wattpad enggak begitu suka nulis di sana. Hehe

      Hapus
  6. Keren kk cerpen nya,buat sendiri. Oiya coba bahas buku Tere Liye kk. Keren2

    BalasHapus
  7. Duh aneh-aneh ya, pakai beli wewangian lavender segala haha. Keren mbak cerpennya, semoga bisa terus mengembangkan karya-karyanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Agak berkaca sama diri sendiri sebenarnya itu. Aku suka banget sama wewangian soalnya. 😅

      Hapus
  8. Wah, diksinya beragam sekali ya. Lumayan buat bahan belajar untuk memperluas kosa kata bahasa indonesia. Judul dan ceritanya juga sangat menarik. Semangat terus untuk karya-karya lainnya!

    BalasHapus
  9. Keren mba ceritanya, banyak hal-hal yang menurut saya diluar ekspektasi hehehe. Btw, saya suka dengan karakter Landri ini, soalnya relate banget sama kehidupan saya. Sukses terus mba, ditunggu karya selanjutnya

    BalasHapus
  10. Bagus ka cerpenya. Kaya bahasa. Dah cocok lah ini diterbitin dibukun ka. Karakter yang dibangun Tatang dan Landri kuat ni. Bisa merasakan kebiasaan sopir Truk klo sedang mampir ke warung. Singgah sambil lirik lirik Rukma. Meski demikian Landri masih sayang Ratih istri dan anaknya. Beda dengan si Tatang.. hha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah mas... Karya ini jadi cerminan realitas yang ada.

      Hapus
  11. MasyaAllah Kakkkk ... Aku suka sekali tulisannya.
    Kebayang sopir truk yang suka nongkrong di warung kopi. Ceritanya sangat dekat sekali dengan realita.
    Saya sampai degdeg an takut Landri tergoda dengan Rukma. Menarik lega waktu dia berhasil lepas dari jeratan Rukma yang jadi wangi Lavendel. Di akhir cerita, cukup miris dengan kedatangan kakak Rukma yang seperti raja buat puluhan mutiara MERONA.

    Saya tunggu cerita yang lainnya kak.

    BalasHapus
  12. Keren nih, Semangat menulisnya siapa tau nanti menjadi penulis terkenal.

    BalasHapus
  13. Keren cerpennya Kak...Aku baca sampai selesai, bikin penasaran endingnya. Kayak mb Renov, takut juga Landri tergoda juga...Huf...Selamat-selamat...

    BalasHapus
  14. Bagus parah kak. Keren. ikut deg degan aku liat si Landri wkwk.

    BalasHapus
  15. Aku kayak pernah tahu judul ini dimana yaa. eh ternyata ini judul buku antologiku kemarin haha pas bangett. Suka deehh sama cerita si Landri

    BalasHapus
  16. Cerita tentang dunia malam para supir truk sudah menjadi rahasia umum. Menarik, Mba. Tinggal poles sedikit lagi untuk PUEBI dan pemilihan kalimatnya. Semangattttt

    BalasHapus
  17. menarik banget cerita fiksinya, aku jadi rindu deh menulis fiksi di blogku, kebetulan udah terbit dua post tapi aku belum post lagi. Lanjutkan ya kak

    BalasHapus
  18. bagus nih. suka sama gaya berceritanya. ngalir. dan endingnya. tawa. bahagia. mengandung makna yang dalam.good job. lanjutkan

    BalasHapus
  19. Lanjutt.. btw masih ada cerita sambungannya kak ? aku termasuk yang agak susah nulis fiksi di blog. Berasa gak percaya diri, hehehe

    BalasHapus
  20. Saya suka cara kakak memainkan diksi dan kalimat2nya. Settingnya juga bisa tergambar di kepala saya. Kelihatan punya jam terbang bagus nih utk nulis fiksi, hehe

    BalasHapus
  21. Wah selamat ya kak cerpen lavendernya masuk ke buku slice of life, waktu itu aku gak lolos. Hihihi. Kayaknya kita samaan nih. Sama-sama pindah ke Non Fiksi.

    BalasHapus
  22. Masih menunggu cerpen selanjutnya part 2 kalo ada hehe

    BalasHapus
  23. Cerpen yang bagus. Namun saran dikit, perlu dipikirkan ulang pembentukan majasnya. Seperti gelas gemerincing. Duaduanya kata benda. Dan gelas tidak bergemerincing, Kak. :d

    BalasHapus